Ragam Faktor yang Harus Diperkuat agar Jalur Rempah Indonesia Diakui Dunia

Eksibisi Esports PON XX Papua 2021, Tonggak Sejarah Esports Indonesia
September 21, 2021
Laporan Pemantauan Covid-19 di Sektor Parekraf (22 September 2021)
September 22, 2021

Liputan6.com/Hnery/Diterbitkan 22 September 2021 pukul 05.02 WIB

Liputan6.com, Jakarta – Diajukannya Jalur Rempah sebagai Warisan Dunia ke UNESCO oleh pemerintah Indonesia bagaikan gayung bersambut. Upaya ini meningkatkan antusiasme masyarakat yang setidaknya sejak 2014 telah menggulirkan narasi Jalur Rempah dalam berbagai kegiatan yang bersifat sporadis.

Yayasan Negeri Rempah dan Jaringan Masyarakat Negeri Rempah, sebuah jejaring simpul komunitas yang tersebar di beberapa daerah bahkan mancanegara, semakin gencar memberikan ruang untuk menyuarakan gagasan-gagasan tentang Jalur Rempah di masyarakat.

Meski begitu, pengakuan sebagai warisan dunia bukanlah tujuan utamanya. Narasi besar Jalur Rempah itu hanya sebuah pintu masuk agar kita dapat memaknai keberagaman yang membentuk Indonesia hari ini.

Menurut Prof. Johannes Widodo, Ph.D. dari National University of Singapore dalam International Forum on Spice Route (IFSR) 2021, Selasa, 21 September 2021, ia mengingatkan kembali tentang pentingnya pemanfaatan (warisan) budaya secara etis dan bertanggung jawab.

Mengenai pengusulan sebagai warisan dunia, Johannes melihat bahwa ada kecenderungan pemerintah Indonesia melihatnya dari aspek pariwisata, investasi dan perdagangan semata yang memiliki potensi eksploitasi. “Contohnya suda ada. Kita lihat bagaimana Borobudur dan Pulau Komodo yang menerima peringatan dari pihak UNESCO karena dinilai melakukan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Itu harus dikaji dan diperhatikan dengan baik,” terangnya.

Johannes juga mengajukan pertanyaan tentang paradigma pembangunan. Di satu sisi adalah pembangunan yang berfokus pada materialitas demi kepentingan ekonomi semata, dan di sisi lainnya adalah pembangunan yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat.

“Kalau saya melihat pemerintah nampaknya lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur yang pada akhirnya kurang memiliki keberpihakan pada budaya dan masyarakatnya,” ucapnya.

Pembangunan Komunitas

Johannes menambahkan, hal ni dapat dilihat dengan munculnya 10 destinasi super prioritas yang dicanangkan oleh pemerintah. Alih-alih dimulai dari infrastruktur, ia menawarkan gagasan pembangunan yang dimulai dari pembangunan komunitas dan budayanya demi kesejahteraan sosial.

Hal senada juga dikatakan Prof. Tim Winter, Ph.D. (Australia) dari University of Western Australia. Menurut Prof Winter, semua instrumen yang berhubungan dengan penghasil rempah harus sudah sejahtera dan stabil sehingga bisa konsisten dalam melaksanakan usaha mereka.

“Yang diutamakan adalah kesejahteraan para penghasil rempah di negeri sendiri, termasuk para petaninya. Kalau di dalam negeri sendiri mengalami kesulitan, tentu akan terasa sia-sia meski sudah banyak mengekspor ke negara lain. Begitu juga di Indonesia. Kesejahteraan para penghasil rempah lokal harus diutamakan, soal tidak ada pembeli atau turis yang datang itu tidak jadi masalah,” ucap Winter.

Warisan Milik Bersama

“Kalau penanganan di dalam negeri sendiri bagus dan hasilnya memuaskan, kemungkinan besar orang lain atau negara lain pasti akan datang untuk membeli. Jadi, bisa saja dimanfaatkan untuk menjadi bagian dari komoditas wisata, kalau memang semua faktor utama dan pendukungnya terpenuhi,” lanjutnya.

Ptof Winter memaparkan bahwa rempah-rempah merupakan warisan milik bersama di kawasan Asia. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari beragamnya penggunaan rempah-rempah dalam tradisi kulinernya.

Mulai dari laksa, kari, rendang, biryani, dan masih banyak lagi. Dengan demikian, gastrodiplomasi merupakan sebuah kesempatan untuk membuka ruang dialog antarbudaya dalam lingkup Asia Tenggara

Artikel Asli: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4664403/ragam-faktor-yang-harus-diperkuat-agar-jalur-rempah-indonesia-diakui-dunia

logo