Hitam Putih Wajah Yogya dan Bali Bertahan Lawan Pandemi

Okupansi hotel di Sleman berkisar 15 persen pada libur Lebaran 2021
May 20, 2021
Dibuka Lagi, Ketep Pass Disambut Antusias Wisatawan
May 20, 2021

Cnnindonesia.com / Azhar Syahida/ 20 Mei 2021, 14:43 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Setelah BPS merilis pertumbuhan ekonomi triwulan I 2021, kita mengetahui bahwa setiap daerah memiliki karakter yang berbeda.

Kecepatan pemulihan ekonominya tidak sama, bergantung pada struktur dan komposisi sektor serta kinerjanya. Lebih lagi, daerah yang mengandalkan sektor jasa, harus tertatih-tatih karena kinerjanya bergantung pada faktor eksternal.

Karakter pemulihan yang tidak seragam, meniscayakan kehadiran institusi pemerintah daerah yang kuat, responsif, dan memahami komposisi ekonomi di daerahnya.

Sebab, pemahaman yang komprehensif terhadap kerangka ekonomi di masing-masing daerah, menjadi kunci utama pemilihan kebijakan yang sesuai dengan pokok permasalahan, betapapun masalah utama yang sedang kita hadapi adalah pandemi.

Daerah-daerah yang menggantungkan ekonomi kepada sektor jasa, umumnya adalah kawasan pariwisata atau daerah yang didominasi oleh kawasan perkotaan. Misalnya, DKI Jakarta, DI Yogyakarta (DIY), Bali, dan Maluku.

Namun demikian, dengan bergantung pada sektor jasa, kecepatan pemulihan ekonomi daerah-daerah tersebut beragam. Misalnya, pada triwulan I/2021, Bali masih terjerembap -9,85 persen (yoy) kemudian DKI Jakarta (-1,65%), dan Maluku (-1,88 persen), sementara DIY tumbuh 6,14 persen.

Tentu, untuk menerangkan mengapa terdapat perbedaan demikian, dibutuhkan kejelian.

Pemerintah daerah jangan sampai salah langkah pada tahap ini. Mari kita ambil contoh dua daerah yang paling ekstrem, yakni DIY dan Bali, yang keduanya bergantung pada sektor pariwisata tapi memiliki kecepatan pemulihan ekonomi yang jauh berbeda.

Mengapa ekonomi DIY mampu tumbuh positif sedang Pulau Dewata masih kontraksi, padahal keduanya adalah daerah wisata?

Ada beberapa hal yang bisa menjelaskan, mengapa perekonomian DIY bisa tumbuh signifikan pada kuartal I 2021 setelah sebelumnya terkontraksi 2,69 persen (yoy) pada triwulan IV 2020. Utamanya, jika penjelasan ini dikaitkan dengan sektor pariwisata.

Pertama, meskipun secara keseluruhan didominasi oleh sektor tersier (jasa), ekonomi Kota Gudeg itu, secara spesifik masih didominasi kuat oleh dua sektor utama, yakni industri pengolahan dan pertanian.

Keduanya pada 2020 menyumbang 23 persen terhadap total Produk Domestik Bruto (PDRB) DIY. Sementara sektor yang berkaitan dengan pariwisata, misalnya Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum hanya menyumbang 8 persen terhadap total perekonomian DIY.

Kedua, sebagian besar sektor ekonomi di DIY sudah tumbuh positif pada triwulan I/2020, terutama lima besar kontributor PDRB DIY: industri pengolahan (0,45 persen yoy); pertanian (10,86 persen yoy); informasi dan komunikasi (31 persen yoy); konstruksi (11,4 persen yoy), dan jasa Pendidikan (5,8 persen yoy). Sebagai catatan, kelima sektor utama tersebut menggerakkan 51% ekonomi DIY.

 

Gambaran sektor utama yang semuanya sudah tumbuh positif tersebut, berbeda dengan Bali yang sebagian besar sektor utama penyumbang PDRB masih terkontraksi cukup dalam.

Misalnya, lima besar kontributor PDRB Pulau Dewata, antara lain: penyedia akomodasi (-24,42 persen yoy); pertanian (-0,49 persen yoy); konstruksi (-2,56 persen yoy); perdagangan (-7,06 persen yoy); dan transportasi (-35 persen yoy).

Lima besar kontributor tersebut menyumbang 60 persen terhadap seluruh pergerakan ekonomi Pulau Dewata. Jika kelima kontributor utama ekonomi Pulau Dewata itu masih terjungkal, wajar jika cahaya pemulihan ekonomi masih jauh di ujung sana.

 

Beda Wisatawan Yogya-Bali

Ketiga, boleh jadi, terdapat perbedaan karakter wisatawan yang biasa berkunjung ke Yogyakarta dan Bali.

Penulis menduga, pengunjung objek wisata di Yogyakarta adalah wisatawan lokal yang mengganti liburan jarak jauh menjadi jarak dekat, atau bisa ditempuh menggunakan jalur darat: kendaraan pribadi.

Inilah kemudian yang menurut penulis juga menyelamatkan kontraksi sektor penyedia akomodasi dan makan minum di DIY menjadi tidak begitu dalam (-2 persen).

Sementara karakter wisatawan Bali adalah mancanegara yang hingga kini masih terkendala pandemi.

Pun juga, wisatawan lokal yang biasa mengunjungi Bali, mengganti objek wisata yang satu daratan-mengingat orang jika hendak ke Bali mesti melakukan perjalanan jauh dan persyaratan protokol kesehatan yang ketat, terutama wisatawan yang berasal dari luar Bali.

Keempat, memperhatikan sektor lain di luar penyumbang utama ekonomi. Di Bali, sebagian lapangan usaha masih terkontraksi, meskipun di luar pariwisata, misalnya, pertanian dan industri pengolahan.

Padahal, dua sektor inilah yang dimungkinkan dapat menjadi peredam ketika sektor pariwisata jatuh cukup dalam. Sementara di DIY, sektor-sektor di luar pariwisata sudah pulih dan bahkan mengalami eskalasi yang signifikan.

Demikianlah, pemahaman yang holistik terhadap bangunan ekonomi di masing-masing daerah adalah kebutuhan yang mendesak. Dan, tentu, pemulihan ini sangat bergantung pada kebijakan yang tepat dari kolaborasi kolektif dengan masyarakat.

Artikel Asli : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210519142551-533-644245/hitam-putih-wajah-yogya-dan-bali-bertahan-lawan-pandemi

logo